Menginjak tahun ketiga usia perkawinanku, keutuhan rumah tanggaku
mulai goyah. Apalagi sejak kelahiran anak kami yang kedua yang hanya
berselang setahun dengan anak kami yang pertama. Aku memang sepakat
dengan istriku untuk berproduksi secepatnya dan akan sedikit repot di
awalawal tahun perkawinan untuk membesarkan anakanak dan setelah itu
kami baru akan konsentrasi untuk karir, cari uang dan tujuan hidup yang
lainnya.
Namun rupanya rencana tak berjalan seperti yang kami
harapkan. Istriku terpaksa harus keluar dari kantornya yang bangkrut
akibat krismon. Padahal kelahiran anak keduaku bagaimanapun cukup
menambah pengeluaran kami. Sehingga aku terpaksa bekerja lebih keras,
meskipun saat itu aku sudah menjadi wakil manajer di perusahaanku.
Aku
mulai kembali mengajar di beberapa perguruan dan akademi swasta,
seperti yang pernah kulakukan pada saat belum berkeluarga dulu. Di
sinilah masalah keluarga mulai muncul. Beberapa bulan menganggur,
istriku mulai uringuringan dan kelihatan tertekan. Sementara aku harus
sering pulang larut malam, karena aku tidak hanya sibuk mengajar, tetapi
juga mulai aktif dipanggil sebagai pembicara di beberapa
pertemuanpertemuan bisnis.
Kondisi seperti itu berlangsung hampir
satu tahun. Entah sudah berapa puluh kali aku bertengkar dengan istriku.
Dari masalah yang sepele hingga masalah yang berkaitan dengan urusan
ranjang. Istriku kurasakan mulai dingin dan tak jarang menolak bila
kuajak berhubungan intim. Sikapnya juga mulai aneh. Beberapa kali aku
menemui rumah dalam keadaan kosong karena istriku pergi dan menginap di
rumah orang tuanya bersama anakanakku. Kadang ia berada di sana selama
satu minggu, meskipun aku sudah menyusulnya dan mengajaknya untuk
pulang.
Singkat cerita, setelah kurang lebih satu setengah tahun
kondisi seperti itu berlangsung terus menerus, istriku akhirnya meminta
cerai. Aku kaget dan tak pernah menduga ia akan melakukan itu padaku.
Sulit bagiku untuk membujuk dan mengajaknya bicara secara baikbaik.
Bahkan kedua orang tua kami sampai ikut campur mendamaikan. Akhirnya
dengan berat hati aku harus berpisah dengan istri dan kedua anakku.
Pupuslah sudah angananganku membentuk Keluarga yang Bahagia. Ada tiga
bulan aku seperti orang linglung menghadapi cobaan itu. Aku stres berat.
Bahkan sempat hampir masuk rumah sakit.
Aku mendapatkan hak untuk
menempati rumah kami. Tapi anakanak ikut istriku yang kini tinggal
dengan orang tuanya. Sesekali aku menemui mereka, karena anakanakku
masih kecil dan tetap perlu figur seorang ayah.
Kurang lebih
setahun setelah perceraianku, aku mulai menjalin hubungan lagi dengan
seorang wanita. Maryati namanya, seorang janda tanpa anak. Perkenalan
kami terjadi sewaktu aku terlibat dalam sebuah kepanitiaan temu bisnis
yang diadakan sebuah perusahaan terkemuka di ibu kota. Pertemuan demi
pertemuan dan pembicaraanpembicaraan di telepon akhirnya berkembang
menjadi acara kencan bagi kami berdua.
Rasa kesepian yang selama
ini kualami seperti mendapat obatnya. Maryati memang seorang yang wanita
yang menarik dan menyenangkan bagi siapa pun lakilaki yang mengenal
dia. Entah kenapa ia memilihku. Mungkin kami samasama berstatus cerai.
Tapi ternyata ia punya alasan lain. Menurutnya ia menyukaiku karena aku
orangnya kalem tapi terlihat matang, dan menurutnya lagi, wajahku
ganteng dan ia suka dengan lakilaki yang berkumis sepertiku. Komentar
yang terakhir itu hampir sama dengan yang pernah disampaikan oleh mantan
istriku waktu kami pacaran dulu.
Sebagai lakilaki normal, terus
terang di samping tertarik pada personalitasnya, aku juga tertarik
secara seksual dengan Dik Mar (demikian aku biasa memanggil Maryati,
sementara ia biasa memanggilku Mas Is, kependekan dari namaku,
Iskandar). Selama menduda, kehidupan seksualku memang cukup menjadi
suatu masalah bagiku. Karena aku bukan tipe yang bisa main dengan
sembarang orang, karena aku takut dengan berbagai risiko yang nanti bisa
menimpaku. Meskipun kuakui sekali dua kali aku terpaksa melacur. Tapi
jarang sekali aku melakukannya dan bisa dihitung dengan jari. Itu pun
kulakukan dengan penuh perhitungan dan hatihati. Terus terang selama ini
aku lebih banyak menyalurkan hasrat seksualku dengan cara onani sambil
lihat BF atau majalah porno yang kumiliki.
Maka ketika aku
mengenal Maryati, dan semakin mengenalnya lebih jauh lagi, serta merasa
yakin dengan siapa aku menjalin hubungan, aku tak sungkansungkan lagi
menyatakan kesukaanku padanya. Statusnya yang janda secara psikologis
membuatku lebih berani untuk berbicara dan bersikap lebih terbuka dalam
beberapa hal yang sensitif, termasuk masalah seks. Dan seperti sudah
kuduga semula, Maryati meresponku dengan baik.
Kami pertama kali
melakukan hubungan intim di sebuah hotel di daerah Puncak. Aku yang
mengajaknya. Meskipun semula ia menolak ajakanku dengan halus, tapi
akhirnya aku berhasil mengajaknya bermalam di Puncak.
Pagi itu
kami berangkat dari Jakarta sekitar jam 9 pagi. Selama perjalanan kami
mengobrol dan bercanda tentang berbagai hal, bahkan kadangkadang
menyerempet ke masalahmasalah yang intim, karena kami sadar bahwa
kepergian kami ke Puncak memang untuk itu. Begitu tiba di dalam kamar
hotel, tubuh Maryati langsung kudekap dan kuciumi ia dengan mesra. Ia
membalasku dengan ciuman yang tak kalah hangatnya. Cukup lama kami
berciuman dalam posisi berdiri. Senjataku pun sudah lama berdiri sejak
mulai masuk lobby hotel tadi, karena terus membayangkan kejadian yang
bakal terjadi.
Dadaku terasa berdegup keras sekali. Kurasakan pula
debaran jantung Maryati pada tanganku yang merayaprayap di sekitar
dadanya. Memang baru pertama kali inilah kami berbuat agak jauh. Bahkan
bisa dipastikan kami akan lebih jauh lagi.
Selama ini kami hanya
sebatas berciuman. Itupun baru kami lakukan sebanyak dua kali dan dalam
suasana yang tidak mendukung. Yang pertama terjadi di gedung bioskop dan
yang kedua waktu aku mampir ke kantornya dan sempat masuk ke ruang
kerjanya. Sehingga pada kedua kesempatan itu kami tak leluasa untuk
saling menjamah.
Tapi kali ini, kami bisa saling menyentuh,
meremas dan melakukan apa saja dengan bebasnya. Tanganku berulangulang
meremas gemas bongkahan pantatnya, karena bagian tubuhnya itulah yang
selama ini paling kusukai tapi paling sulit kujamah. Sedangkan ia asyik
menelusuri dadaku dan mengusapusap bulu yang tumbuh lebat di sana.
Barangkali bagian tubuhku itulah yang selama ini disukainya tapi sulit
disentuhnya. Dia memang pernah mengomentari tentang bulu dadaku yang
memang bisa terlihat jelas bila aku memakai kemeja biasa.
Siang
itu kami akhirnya melakukan sesuatu yang sudah lama kami pendam. Terus
terang kami melakukannya dengan terburuburu dan cepat. Bahkan pakaian
tak sempat kami buka semua. Maryati masih mengenakan rok dan blusnya.
Hanya saja blusnya sudah terbuka, demikian pula dengan BHnya, sudah
terkuak dan menonjolkan isinya yang bulat padat itu. Sementara rok
hitamnya sudah kutarik ke atas pinggangnya dan celana dalamnya sudah
kulepas sejak dari tadi. Aku sendiri masih berpakaian lengkap, hanya
beberapa kancing bajuku sudah terlepas bahkan ada yang copot direnggut
oleh tangan Maryati. Sedangkan celana jeans dan celana dalamku tak
sempat lagi kulepas, hanya ikat pinggang dan ritsluitingnya saja yang
kubuka. Sehingga batang kemaluanku bisa langsung kujulurkan begitu saja
dari celana dalamku yang juga tak sempat kulepas.
Segera Maryati
kutelentangkan di atas ranjang dan aku langsung melakukan penetrasi.
Tanpa ba bi Bu lagi aku segera tancap gas. Menusuk sedalamdalamnya dan
mulai menggenjotnya.
Kami berdua seperti balas dendam. Segera
ingin mencapai puncak. Suara erangan dan lenguhan terdengar bersahutan
dengan nafas kami yang saling memburu. Kami benarbenar bermain agak
liar. Mungkin karena sudah lama saling memendam birahi. Sehingga saat
itu kami lebih tepat disebut sedang bermain seks daripada bermain cinta.
Akhirnya
permainan kami selesaikan dengan cepat. Kami tak sempat melakukan
variasi atau posisi gaya yang macammacam. Cukup gaya konvensional saja.
Yang penting kami berdua bisa mencapai puncak kenikmatan. Maka begitu
Maryati sudah mendapat orgasmenya, aku langsung menggenjotnya dengan
semangat dan tak lama kemudian aku pun mengerang seiring dengan
muncratnya cairan kenikmatan dari batang kemaluanku dalam tubuhnya,
berkalikali.
Aku lalu merebahkan badanku memeluk tubuh Maryati
dengan nafas tersengalsengal. Ia membalasku dengan mengusapusap rambutku
dan menciumi kepalaku. Kami lalu berciuman dengan lumatnya.
Aku mandi dulu ya Mas.. tibatiba Maryati melepas pagutannya dan beranjak dari posisi telentangnya.
Sebenarnya
aku masih ingin berdekapan. Tapi segera kuikuti langkahnya menuju kamar
mandi. Kulihat ia mulai melepas sisa pakaiannya. Aku memandangnya
sambil bersandar pada pintu kamar mandi. Bibirnya terus tersenyum
membalas pandanganku yang terus lekat selama ia melepas pakaiannya satu
persatu. Sementara aku melongo menyaksikan striptease gratis di depanku.
Sampai akhirnya ia benarbenar bertelanjang bulat.
Baru kali ini
aku melihat tubuhnya dalam keadaan benarbenar polos. Selama ini aku
hanya bisa membayangkan bagianbagian tertentu dari tubuhnya. Kini aku
bisa melihat semuanya. Terpampang jelas.
Mau gabung? katanya
menggoda. Dan aku memang tergoda. Langsung kucopot pakaianku yang
sebagian besar sudah setengah terbuka lalu sengaja kusisakan celana
dalam saja. Aku langsung menuju ke arahnya. Lalu kembali kami berciuman.
Tangannya langsung meremasremas milikku yang sudah agak lemas dan masih
terbungkus celana dalam itu. Sementara aku pun sibuk memainkan puting
susunya dengan jarijariku. Permainan seperti ini sebenarnya pernah kami
lakukan. Hanya bedanya kali ini kami melakukannya dalam keadaan tubuh
telanjang.
Mas.. bisiknya di selasela acara saling memagut dan meremas.
Ya, sayang? balasku.
Sudah kuduga, punya Mas Iskandar pasti gede.
O ya?
Ya, sambil tangannya meremas kuat milikku. Aku mengerang tertahan, enak.
Aku juga sudah menduga.. kataku sambil mengarahkan jariku ke selasela pahanya.
Apa? tanyanya.
Punya Dik Mar pasti legit..
Kayak apa sih yang dibilang legit itu?
Ya kayak tadi, jawabku sambil menusukkan jari tengahku ke celah bibir
kemaluannya. Terasa agak seret tapi lentur dan sedikit lengket. Itulah
legit.
Aku mulai terangsang. Milikku pelanpelan mengembang dan
mengeras. Masshh.. ia mulai merintih ketika sambil tanganku bermain di
bawah sana, mulutku juga mulai merambah telinga, leher dan berhenti di
ujung buah dadanya yang telah mengeras. Jilatan dan isapan mulutku makin
membuatnya merintihrintih kenikmatan.
Sementara tangannya kini
sudah menelusup masuk ke celana dalamku dan meremasremas isinya dengan
gemas. Membuatku makin tegang dan ingin segera menyetubuhinya lagi.
Mau lagi? tanyaku agak berbisik. Ia mengangguk.
Sekarang? tanyaku lagi. Dan ia mengangguk lagi.
Akhirnya
kami melakukannya lagi di dalam kamar mandi. Bahkan kami tak sempat
mandi lebih dahulu sesuai rencana semula. Tapi kali ini kami ingin
bermain cinta, tidak sematamata main seks seperti tadi. Semua berawal
ketika ia melepaskan celana dalamku dan lalu memintaku untuk segera
menusuknya. Segera kuangkat dan kududukkan tubuhnya di atas meja
wastafel. Lalu dalam posisi berdiri aku langsung menghujamkan
kejantananku ke selasela pahanya yang segera dibukanya lebarlebar. Kami
berdua kembali bernafsu. Bibir kami saling melumat dan tangannya
langsung merangkulku eraterat. Sementara pinggulku spontan
menyentaknyentak, mengayun dan menghujam dengan liarnya. Gerakan yang
sudah lama tak kulakukan.
Kurasakan Maryati pun sepertinya sudah
lama tak menikmati permainan cinta seperti ini. Kedua kakinya melilit
pinggangku dengan ketatnya. Kedua tangannya terus mencakar punggungku
bila dirasakannya aku menusuknya terlalu dalam. Kudengar mulutnya
mendesis dan melenguh bergantian. Aku sendiri hanya bisa mendengus dan
menahan agar tak keluar terlalu cepat.
Mass Iss.. Mass Isshh.. ia
mulai memangilmanggil namaku. Sepertinya ia sudah mau orgasme. Maka aku
terus mempergencar gerakanku. Kurengkuh kedua pantatnya dan kutekan ke
depan sehingga membuat batang kemaluanku makin melesak dalam liang
surganya. Berkalikali kulakukan gerakan itu sehingga makin membuatnya
meneriakkan namaku berulangulang. Akhirnya kurasakan badannya menggigil
hebat dan mulutnya merintih panjang. Orgasmenya datang. Cukup cepat
menurutku, seperti waktu kami main di ranjang tadi. Ia ternyata memang
cepat panas.
Sejenak aku menghentikan gerakanku. Kubiarkan Maryati
menikmati sendiri puncak birahinya. Aku mencoba membantu menambah
kenikmatannya dengan cara menjepitkan jempol dan telunjukku pada kedua
puting susunya dan melintirnya pelanpelan. Bola matanya sayu
menggantung, meresapi rasa nikmat yang tengah melanda sekujur tubuhnya.
Tangannya mencengkeram erat bahu dan punggungku. Sementara kakinya makin
kuat menjepit, sebelum akhirnya pelanpelan mengendor. Nafasnya kini
mulai satusatu.
Enak Dik? tanyaku nakal.
Enak.. Mas.. enak sekali.. jawabnya masih dengan nafas satusatu.
Mas Iskandar belum keluar? lanjutnya sambil matanya melihat sebagian batang kemaluanku yang masih tertancap di jepitan pahanya.
Belum
dong. Ini kan ronde kedua, kataku sambil tersenyum. Sebenarnya aku tadi
juga hampir muncrat. Meskipun ronde kedua, tapi aku agak tak kuat juga
menahan laju birahiku yang sudah lama tak tersalurkan. Tapi untuk
permainan kali ini aku berusaha menahan sekuatnya. Karena ini benarbenar
pengalaman pertamaku bermain cinta dengannya, harus sip. Pelanpelan
pinggulku mulai kugoyang lagi. Kutatap matanya lekatlekat sambil terus
kugerakkan pinggul dan pantatku maju mundur. Ia kembali tersenyum
merasakan gerakanku yang sengaja kubuat pelan tapi mantap. Diaturnya
posisinya sehingga aku bisa melakukan tusukan lebih dalam.
Kembali
kami berdua bekerja sama mencapai puncak kenikmatan. Kukocokkocokkan
terus batang kemaluanku dalam liang senggamanya. Sementara bibirku sibuk
menelusuri telinga dan lehernya dengan ganas. Ia sampai menggelinjang
ke sana ke mari karena kegelian. Punggungnya lalu terasa menegang ketika
mulutku mampir ke buah dadanya dan mulai bermainmain di situ. Putingnya
yang coklat dan menonjol besar itu kini menjadi bulanbulanan lidah dan
bibirku. Kubuat beberapa cupang merah di gundukan kedua bukit dadanya.
Mulutnya memintaku untuk terus menyedot susunya. Dan aku melakukannya
dengan senang hati.
Pertahananku akhirnya bobol ketika secara
pelanpelan kurasakan batang kemaluanku terasa dijepit oleh dinding yang
makin menjepit dan berdenyutdenyut. Beberapa saat kunikmati sensasi itu.
Sensasi yang sudah lama tak pernah kurasakan. Tampaknya Maryati hampir
mendapatkan orgasmenya yang kedua. Maka dengan perlahanlahan penuh
konsentrasi aku mulai mengayun pinggulku, mengayun dan terus mengayun,
dan akhirnya menjadi gerakan menyentaknyentak yang makin lama makin
kuat. Membuat tubuh Maryati terlonjaklonjak. Beberapa kali kutekan
pantatku kuatkuat ke depan. Menusuk dan mengocok. Dan pada tusukan yang
kesekian, mulailah muncul rasa geli yang berdesirdesir pada pangkal
kemaluanku. Makin lama desiran itu makin kuat, makin geli, makin enak,
makin nikmat.
Akhirnya aku tak kuat lagi menahan desakan cairan
yang terasa mengalir dari kemaluanku yang kemudian meluncur sepanjang
batang kemaluanku sampai akhirnya menyemprot kuat berkalikali dari
lubang kecil di ujung kepala kemaluanku. Cairan kental hangat itu makin
melicinkan dinding liat milik Maryati sehingga memudahkan gerakangerakan
yang mengiringi ejakulasiku. Dan gerakangerakan yang kubuat ternyata
telah memicu kembali puncak birahi Maryati. Akhirnya yang terdengar
adalah erangan kami berdua, saling bersahutan. Lalu diam. Tinggal suara
dengusan nafas kami yang tersengalsengal.
Kami tadi tak sempat
mandi sesuai rencana semula, tapi tubuh kami kini benarbenar telah basah
karena keringat. Berdua kami berpelukan meresapi rasa nikmat yang sudah
lama tak kami rasakan.
Aku mau mencabut milikku, tapi dengan gaya
manja Maryati melarangku. Ia lalu malah menciumku dan memintaku untuk
menggendongnya ke arah shower. Dililitkannya kedua kakinya pada
pinggangku lalu dengan batang kemaluan masih terselip di
selangkangannya, kugendong tubuhnya menuju shower. Selanjutnya kami pun
mandi bersama. Malam harinya kami mengulang kembali kejadian siang itu
dengan permainan yang lebih bergairah.
Begitulah pengalaman
pertamaku dengan Maryati. Pengalaman pertamaku bermain cinta yang
sebenarnya dengan seorang wanita yang kusukai sejak aku menduda setahun
yang lalu. Harihari selanjutnya aku dan Maryati sudah bagaikan suami
isteri yang sah saja. Tak jarang ia menginap di rumahku atau sebaliknya.
Hubungan kami sangat hangat dan mesra. Bahkan menurutku lebih mesra
dibandingkan dengan mantan istriku yang dulu (sebenarnya aku tak ingin
membuat perbandingan, tapi itu sulit kuhindari dan memang demikianlah
kenyataannya).
Waktu pertama kali kenal dengan Maryati, aku tak
pernah mempunyai pikiran untuk menjadi orang terdekatnya. Terus terang
aku memang menyukainya, tapi hanya berani sebatas mengaguminya saja.
Apalagi waktu itu aku dengar ia sedang menjalin hubungan dengan manajer
sebuah perusahaan asing, seorang ekspatriat. Jadi kupikir ia punya
selera bule dan aku merasa tidak masuk dalam hitungannya.
Sampai
suatu ketika, pada suatu malam, sehabis kami bertemu dalam sebuah acara
dinner party, ia memintaku untuk mengantarnya pulang. Kebetulan saat itu
ia tidak bawa mobil karena sedang masuk bengkel. Sebagai teman, dan
juga sebagai lelaki, aku tentu saja tak bisa menolak permintaannya.
Selama
perjalanan menuju rumahnya, kami mengobrol kesana kemari. Saat masih
berada di mobil, entah dalam konteks apa kami bicara, tibatiba kami
terlibat dalam obrolan yang akhirnya kelak mengarah pada sebuah hubungan
yang makin akrab.
Apakah Mas Is nggak pernah merasa kesepian? itu
pertanyaan pribadinya yang pertama kuingat. Pandangannya tetap lurus ke
depan kaca mobil.
Yah, namanya juga sendiri, aku menjawab
sekenanya, setelah sebelumnya agak gelagapan menerima pertanyaan yang
agak sensitif itu.
Memang kenapa? aku mulai berani memancing.
Ya tidak apaapa, cuma nanya saja kok. Nggak boleh?
Boleh..
Beberapa menit kemudian kami saling terdiam.
Dik Mar sendiri bagaimana?
Ya, sama..
Sama bagaimana?
Ya sama. Kadangkadang merasa sepi juga..
Lho, katanya sedang dekat sama Mister..
Kata siapa? katanya memotong seolah memprotes omonganku.
Ya, saya hanya dengardengar saja.
Gosip itu Mas!
Bener juga nggak papa kok.
Mas Is percaya? Aku diam saja.
Saya percaya. Karena orang seperti Dik Mar pasti banyak yang suka dan mudah kalau mau cari teman.
Kalau asal cari teman sih memang gampang. Tapi yang cocok? Sulit!
Masak nggak ada satu pun yang cocok? Memang cari yang seperti apa?, pancingku mesra.
Maryati tertawa dan menyahut cepat, Yang seperti Mas Iskandar!
Aku
tertawa meski agak terkejut juga dan sedikit GR dengan ucapannya. Tapi
aku lalu menganggap dia hanya bercanda dan aku pun lalu menanggapi
dengan bercanda juga.
Wah, saya sih jauh kalau dibandingkan sama Mister..
Tuh kan! Dibilang itu cuma gosip, nggak percaya! ia memotong kalimatku.
Iya deh, percaya..
Lagi pula, dia bukan tipe saya, nadanya agak menurun.
Saya lebih suka tipe lakilaki yang kalem, tenang.. tapi macho.. seperti Mas Is..
Kali
ini aku tidak lagi menganggap dia sedang bercanda. Karena ia
mengucapkan kalimat itu dengan nada yang terjaga dan kemudian menoleh ke
arahku sambil tersenyum. Aku jadi nervous. Aku ikut tersenyum dan
spontan menghela nafas. Aku menoleh ke arahnya dan ia masih tersenyum
tapi kini wajahnya agak tertunduk.
Dik.. aku mencoba memanggilnya, seolah ingin mendapat penegasan.
Ya, Mas.. ia menjawab dan menatap ke arahku, lalu tersenyum. Dari sikap
dan ekspresi wajahnya, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri sebelum
akhirnya kuberanikan diri untuk menggenggam tangannya. Dan ia diam saja.
Bahkan kemudian membalas remasan tanganku.
Itulah peristiwa yang
mengukuhkan hubunganku dengan Maryati. Malam itu aku hanya mengantarnya
sampai depan pintu pagar saja. Menjabat tangannya. Tak lebih dari itu.
Tapi aku bahagia. Dan aku yakin ia juga bahagia.
Ketika sampai di
rumah, aku langsung menelponnya. Ada kurang lebih satu jam lamanya kami
ngobrol, saling mengungkapkan perasaan kami berdua selama ini.
Selanjutnya kami rajin saling menelepon dan mengadakan pertemuan demi
pertemuan, mulai dari makan siang, belanja, nonton atau jalanjalan.
Aku
pertama kali menciumnya waktu berada di bioskop. Tapi suasana waktu itu
kurang mendukung untuk bercumbu secara total. Karena kami dalam posisi
duduk berjejer, maka kami hanya bisa saling meraba, menyentuh dan
sesekali berciuman. Bila aku memegang atau menyentuh bagian tertentu
tubuhnya, ia akan diam saja. Demikian sebaliknya. Beberapa kali kami
sempat berciuman, meski tak sempat lama. Tapi kami cukup menikmati
kencan di bioskop saat itu. Bahkan tanganku sempat menelusup masuk ke
celah roknya tapi hanya bisa mengeluselus pahanya saja, karena saat itu
rok yang dikenakan Maryati agak panjang. Sementara tangan Maryati
relatif lebih bebas menyentuhku. Tapi ia benarbenar hanya menyentuh
saja, meski sesekali memberi pijitan pada bagian depan celanaku yang
menonjol karena isinya sedang menegang. Aku sebenarnya mengharap ia
melakukannya lebih dari itu. Tapi lagilagi, suasana bioskop saat itu tak
terlalu mendukung.
Baru pada kesempatan kedua kami sempat
bercumbu cukup panas. Kesempatannya terjadi waktu aku berkunjung ke
kantornya dan masuk ke ruangan kerjanya. Ketika itu ia minta ijin
sebentar untuk ke toilet pribadinya, aku segera menyusulnya dan kami
lalu berciuman di lorong menuju ke arah toilet itu.
Kami lalu
berciuman dengan penuh gairah. Saat itulah pertama kali aku benarbenar
bisa merasakan kehangatan dan kelembutan bibirnya. Sudah lama kami tak
melakukan percumbuan seperti ini. Sehingga nafas kami terdengar memburu
dan kami berciuman dengan lahapnya. Dan karena suasananya agak
mendukung, aku pun berani menjamah bagianbagian tubuhnya yang sensitif
terutama dada dan pantatnya yang selama ini hanya bisa kupandang.
Maryati pun juga mulai berani meremas milikku yang sudah mengeras dari
balik celana pantalon yang kukenakan. Aku lalu membalasnya dengan
menekankan telapak tanganku ke celah pahanya yang tertutup rok kantor
dan meremas bagian yang ada di sana. Meski begitu, kami tetap tak bisa
leluasa untuk melakukan halhal yang lebih jauh. Karena bisa saja
sewaktuwaktu ada karyawan yang akan masuk sementara kami dalam keadaan
kusut masai. Jadi kami tetap harus menjaga semua ini. Tapi
setidaktidaknya kami bisa saling meluapkan kerinduan kami dengan
bercumbu sambil saling menyentuh.
Pada pertemuan di kantor itulah
aku mencoba mengajaknya untuk suatu saat berkencan lebih jauh di suatu
tempat yang lebih leluasa untuk melakukannya. Maryati tidak mengiyakan
atau menolak ajakanku. Ia hanya menunjukkan sikap dan jawaban yang
tampaknya masih hatihati dan perlu waktu untuk memikirkannya. Dan aku
menghargai sikapnya itu. Sampai akhirnya aku berhasil membawanya pergi
ke Puncak sebagaimana telah kuceritakan pada bagian pertama.
Kini
hubungan kami sudah semakin dekat. Kencan lebih banyak kami lakukan di
luar rumah. Karena bagaimana pun, status kami sebagai sebagai duda dan
janda sedikit banyak pasti mendapat sorotan tersendiri di lingkungan
kami masingmasing. Jadi aku dan Maryati harus bisa menjaga hubungan ini
agar tak terlalu menyolok. Untuk itu aku lebih senang kalau Maryati saja
yang bertandang ke rumahku, daripada aku yang harus ke rumahnya. Hal
ini untuk menjaga kesan bagi diri Maryati sebagai seorang janda, di
samping karena lingkunganku juga relatif lebih aman. Beberapa kali ia
sempat menginap di rumahku. Sementara aku baru dua kali menginap di
rumahnya.
Pertama kali Maryati kuajak ke rumahku adalah sehabis
aku mengantarnya jalanjalan membeli arloji, kirakira seminggu setelah
kejadian di Puncak. Berhubung waktu pulang hujan cukup lebat, aku harus
mengambil jalan memutar yang cukup jauh menuju rumahnya untuk
menghindari wilayah yang biasanya banjir. Kebetulan jalan yang harus
kuambil melewati jalan menuju kompleks rumahku. Maka daripada tanggung,
aku menyarankan Maryati untuk mampir sebentar.
Lama juga nggak papa katanya menggoda.
Jangan ah.. Takut! sahutku gantian menggodanya.
Takut apa?
Takut tidak terjadi apaapa.. ha.. ha.. ha..
Iiihh.. dasar! sambil tangannya mencubit pahaku. Aku berteriak, meskipun cubitannya tidak sakit.
Cubit yang lainnya dong.. aku menggodanya lagi.
Maunya!
Tapi
tangannya kemudian terulur ke arah selangkanganku dan mulai menarik
retsleting celana jeansku ke bawah. Masih dalam posisi menyetir, aku
segera mengatur posisi dudukku agar ia bisa leluasa membuka celanaku.
Dalam sekejap milikku sudah terjulur keluar dari celah atas celana
dalamku. Milikku mulai membesar tapi belum tegang.
Tangan kanan
Maryati lalu mulai beraksi meremas dan memijitmijit. Maka segera pula
otot pejal kebanggaanku itu mulai bangun berdiri. Aku berusaha
berkonsentrasi dengan setir mobil. Apalagi di luar sana hujan makin
lebat. Wiper yang bergerakgerak seperti tak mampu menahan air hujan yang
turun meleleh di kaca depan. Sebagaimana aku tak dapat menahan rasa
geli yang mulai muncul ketika tangan Maryati pelanpelan mulai mengocok.
Batangku dijepitnya hanya dengan menggunakan jempol dan jari tengahnya.
Lalu dengan cara seperti itu ia membuat gerakan memijit dan mengocok
bergantian.
Digenggam dong.. kataku menuntut.
Tadi katanya
minta dicubit, jawabnya sambil melakukan gerakan mencubit pelan pada
pangkal kemaluanku yang kini sudah mengeras. Membuatku menggelinjang.
Aku
tersenyum mendengar jawabannya. Ya sudah, aku nikmati saja apa yang
dilakukan. Bahkan aku kemudian menjulurkan tangan kiriku ke arah buah
dadanya yang terbungkus blus tanpa kancing, sementara tangan kananku
tetap memegang kemudi. Kurasakan buah dadanya sudah mengeras kencang.
Aku makin bernafsu meremasnya. Maka mulailah acara saling meremas dan
memijit, di dalam mobil, di tengah hujan deras.
Tampaknya Maryati
mulai terangsang dengan gerayangan tanganku pada buah dadanya. Ia
memintaku untuk melakukannya di bagian tubuhnya yang lain, ketika
tangannya tibatiba menuntun jariku menuju ke selasela pahanya yang
sengaja dibukanya agak lebar. Roknya sudah ia tarik ke atas sebatas
pinggul. Maka jarijari tangan kiriku pun segera beraksi di bagian depan
celana dalamnya yang menyembul hangat dan sudah mulai lembab itu.
Pandanganku
tetap harus ke depan, ke arah jalan yang mulai masuk ke kompleks
rumahku. Sedangkan Maryati bisa dengan enaknya menggeliatgeliat sambil
mendongakkan kepalanya menikmati gelitikan jariku pada bagian luar CDnya
tepat di bagian celah kemaluannya. Sementara tangan kanannya kini tak
lagi memijitmijit, tapi sudah menggenggam batang kemaluanku yang makin
meradang karena terus dikocokkocok olehnya.
Aku menarik tanganku
dari sela paha Maryati ketika mobil sudah mulai masuk ke jalan menuju
rumahku. Maryati sempat mendesah ketika aku menghentikan aksiku. Sudah
sampai.. kataku memberi alasan sekaligus mengingatkan dia.
Ia
segera membenahi pakaiannya dan kemudian gantian membereskan celanaku
yang sudah setengah terbuka. Kemaluanku yang belum sepenuhnya lemas,
agak sulit untuk dibungkus kembali.
Bandel nih! gerutu Maryati.
Gede sih.. hehehe.. aku tertawa melihatnya kesulitan memasukkan batang kemaluanku kembali ke celana.
Sudah biarin, nanti juga kan dikeluarin, lanjutku.
Maryati
lalu kusuruh turun duluan menuju teras. Aku kemudian memasukkan mobil
ke garasi, membetulkan celanaku dan kemudian bergegas keluar garasi
menuju teras menyusul Maryati yang rambut dan pakaiannya terlihat agak
basah oleh air hujan.
Kami lalu segera masuk ke dalam rumah.
Inilah pertama kali Maryati berkunjung ke kediamanku. Ia agak sedikit
canggung dan terlihat kurang nyaman ketika berada di ruang tamu. Apalagi
kondisi tubuhnya agak basah oleh air hujan. Blusnya yang basah
menampakkan bagian gumpalan dadanya yang sedikit menyembul dari BH yang
dikenakannya. Aku kembali terangsang melihat pemandangan itu. Segera
kupeluk tubuhnya dan kami pun lalu tenggelam dalam ciuman yang
bergelora.
Birahi kami memanas kembali. Ciuman pun berkembang
menjadi acara saling meremas. Saling menekan. Saling merangsang. Kami
berdua lalu membantu melepaskan pakaian satu sama lain dan membiarkannya
terserak di lantai ruang tamu. Tubuh telanjang kami pun menempel makin
lekat.
Di sini saja.. katanya ketika aku akan menariknya untuk masuk ke kamar tidur.
Kami
kemudian memilih sofa ruang tamu sebagai tempat main. Di luar hujan
masih turun dengan derasnya. Suara tempaan airnya menyamarkan desahan
dan lenguhan yang keluar dari mulut kami berdua. Tubuh bugil kami
bergelut dengan penuh gairah di atas sofa tamu itu.
Beberapa saat
kemudian Maryati meminta ijinku untuk melakukan oral seks. Tentu saja
kuijinkan. Ia memang senang dengan milikku yang katanya punyaku ukuran
besar terutama di bagian kepalanya. Sehingga ia senang sekali melumat
dan mengisap bagian kepala kemaluanku yang kini terlihat bulat
membonggol dan tampak licin mengkilat akibat lumuran ludahnya.
Selama
ia melakukan permainan mulut, aku berusaha mengimbanginya dengan
merangsang bibir kemaluannya dengan jariku. Saat itu posisiku setengah
rebahan dan menyandarkan kepalaku pada sandaran sofa. Sedangkan Maryati
berbaring miring setengah telungkup di samping pinggangku. Ia menggeliat
ketika jari tengahku mulai menerobos masuk ke celah miliknya, sementara
jempolku bermainmain pada klitorisnya.
Ouu.. jeritnya tertahan.
Kenapa? enak? tanyaku sambil menusukkan jari tengahku lebih dalam dan
memutar lebih keras jempolku pada tonjolan kecil di atas bibir
kemaluannya. Kembali mulutnya bersuara, tapi kali ini lebih riuh dan
lebih mirip desisan. Sejenak mulutnya terlepas dari batang kemaluanku.
Tapi sesaat kemudian ia menunduk kembali dan melumat habis pisang
ambonku hampir ke pangkalnya dan mengisapnya sedemikian rupa sampai aku
merinding kegelian. Pantatku sempat tersentaksentak karena kenikmatan.
Kenapa?
enak ya? katanya sambil melirikku, lalu melanjutkan kulumannya kembali.
Sepertinya Maryati ingin membalas atau mungkin ingin mengimbangi
perbuatanku tadi.
Selanjutnya kami tak sempat bicara sepatah kata
pun karena terlalu serius untuk saling melakukan dan menikmati
rangsangan. Mataku terpejam mencoba menikmati setiap hisapan mulut
Maryati, sementara jarijari tangan kananku terus asyik bermainmain di
sekitar liang kewanitaannya.
Berbeda dengan milikku, rambut yang
tumbuh di sekitar kemaluan Maryati tak terlalu lebat, tapi tumbuhnya
lebih halus dan rapi. Dan aku suka sekali mengusapusapnya. Sedangkan
rambut kemaluanku tentu saja lebih kasar dan lebat tumbuhnya hingga ke
arah pusar, perut dan dada. Maryati juga suka mengusapusap bulubulu yang
tumbuh di sekitar tubuhku itu. Katanya, dengan kondisi seperti itu, aku
seperti nyomet, demikian ia memplesetkan istilah monyet.
Siang
itu akhirnya kami melakukannya sampai dua kali. Ronde pertama diawali
ketika Maryati mulai bangkit dari posisi tengkurapnya, lalu mulai
mengangkangi pinggulku, dan kemudian menelusupkan batang kejantananku
yang sudah tegang keras itu ke selasela pahanya. Dengan posisi antara
duduk dan bersandar, aku mencoba membantunya dengan sedikit mengangkat
pantatku ke atas. Maka sedikit demi sedikit amblaslah kepala kemaluanku
ditelan mulut kecil yang ada di selangkangannya. Terasa sekali liang
ketat namun lembut menjepit sepanjang batang kemaluanku. Rasanya hangat,
lembut dan agakagak terasa kesat.
Kenikmatan semakin terasa
ketika kepala kemaluanku yang sensitif itu menyentuh ujung dinding
kemaluan Maryati. Sejenak Maryati memutarmutar pinggulnya seolah
merayakan pertemuan total itu. Secara spontan kami berdua serempak
memperdengarkan rintihan kenikmatan.
Maryati pun tampaknya
meresapi jejalan batang dan gesekan urat yang ada di sekujur kemaluanku.
Mulutnya mendesisdesis seperti orang kepedasan. Beberapa kali jarinya
berusaha menyentuh bagian luar bibir kewanitaannya seperti mau menggaruk
seolah kegelian.
Maryati kemudian mengatur posisi berlututnya
sedemikian rupa dan beberapa saat kemudian ia mulai menggenjot tubuhnya
naik turun. Makin lama genjotannya makin cepat, sehingga membuat buah
dadanya tampak berayunayun di depan wajahku. Mulutku segera menangkap
putingnya yang sudah mengeras itu dan segera melumatnya habis. Ia
menjerit tertahan. Tapi aku tak mempedulikan dan bahkan makin asyik
mengulum kedua bukit padatnya itu bergantian. Sementara di bawah sana
pinggulku terus menyentaknyentak mengimbangi genjotannya di atas
tubuhku. Terasa sekali rasa nikmat menjalar di sekitar pangkal dan
sekujur batang kemaluanku.
Suara hujan di halaman depan makin
membuatku bergairah. Entah sudah berapa lama kami dalam posisi seperti
ini. Kami hanya bisa saling memperdengarkan rintihan dan desah
kenikmatan. Tubuh Maryati pun terus meliuk dan menggeliatgeliat di atas
tubuhku. Kedua pahanya yang sejak tadi mengangkang dan bertumpu di jok
sofa, mulai kueluselus. Dan ia menyukainya karena lenguh kenikmatannya
makin kerap terdengar. Elusanku lalu bergeser ke bukit pantatnya. Tapi
kini aku tak lagi mengelus. Tanganku lebih sering meremas di bagian itu.
Membuat Maryati makin menggelinjang.
Kami mengakhiri permainan
ketika Maryati mulai menunjukkan tandatanda akan mencapai puncak birahi.
Aku segera mempergencar tusukan dan hentakanku dari bawah. Kedua
tangannya sudah memeluk kepalaku sehingga membuat wajahku terbenam di
belahan dadanya. Kedua kakinya kini menjepit erat pinggangku. Sementara
posisi bersandarku sudah agak merosot ke bawah. Beberapa menit kami
masih sempat bertahan dalam posisi itu sambil terus berpacu menuju
puncak kenikmatan.
Mass.. Masshh.. Mass Isshh..
Dik Maarrhh.. oohh.. Dik..
Kami saling memanggil nama masingmasing. Entah apa maksudnya.
Barangkali untuk menyatakan kemesraan, atau untuk mencoba menahan rasa
nikmat yang mulai sulit kami kendalikan.
Ketika nada jeritan
Maryati mulai terdengar agak keras, aku segera mengangkat tubuhnya,
membalikkan dan membaringkannya ke badan sofa. Kini dalam posisi aku
berada di atas, kugenjot tubuhnya habishabisan sampai kami berdua
akhirnya mencapai orgasme hampir bersamaan.
Aku mengerangngerang
ketika kurasakan air maniku mulai menyembur. Ada sekitar empat kali aku
menembakkan air maniku. Alirannya terasa sepanjang batang kemaluanku.
Rasanya berdesirdesir nikmat. Maryati pun kulihat menikmati puncak
birahinya. Wajahnya memerah dan matanya terpejam. Sementara tubuhnya
sesekali bergetar menahan rasa geli yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Aku segera melumat bibirnya dan kami pun melengkapi puncak kenikmatan
ini dengan ciuman yang dalam dan lama. Sesekali tubuh kami tersengal
oleh sisasisa letupan kenikmatan yang belum sepenuhnya reda.
Suara
riuh hujan tak terdengar lagi. Hanya bunyi tetestetes air yang
berdentangdentang menimpa atap seng. Entah sejak kapan hujan mulai reda.
Kami terlalu sibuk untuk memperhatikannya. Kami masih berbaring di atas
sofa. Maryati berbaring di atas tubuhku yang telentang. Tanganku
mengusapusap punggungnya yang masih bergerakgerak halus seiring
nafasnya. Sementara tangannya bermainmain di sekitar bulu dada dan
perutku yang masih basah oleh keringat.
Tidur di sini ya.. kataku membujuknya.
Tidur di sini? Di sofa ini? tanyanya.
Bukan. Maksudku Dik Mar malam ini nginep di rumahku, jelasku.
Oo.. Boleh.. Tapi hadiahnya apa? sahutnya mulai manja.
Hadiahnya? tanyaku bingung. Aku terdiam sejenak, dan kemudian kuraih
tangannya lalu kuarahkan ke batang kemaluanku yang sudah mulai melemas,
Niih.. hadiahnya!
Ia tergelak dan kami lalu tertawa bersama.
Tangannya kemudian meremas milikku. Meremas dan terus meremas.
Selanjutnya kami pun akhirnya kembali bergelut di atas sofa itu,
mempersiapkan permainan berikutnya. Tapi untuk ronde kedua ini kami akan
menyelesaikannya di kamar tidur.
Setelah puas melakukan pemanasan
di atas sofa di ruang tamu, kami lantas beranjak masuk ke kamar
tidurku. Inilah pertama kali Maryati masuk ke sini. Sebenarnya sudah
lama aku ingin mengajaknya masuk ke ruangan ini. Tapi baru pada
kesempatan inilah keinginanku kesampaian. Bahkan aku tidak hanya
kesampaian membawanya masuk, tapi sebentar lagi aku juga kesampaian
untuk menidurinya di atas kasur yang selama menduda ini hanya kupakai
tidur sendirian.
Begitu pintu kamar tertutup, Maryati langsung
memelukku dan kami berciuman dengan mesranya. Kulit tubuh kami yang
sudah polos telanjang itu seolah telah menjadi konduktor yang saling
mengirimkan panas birahi yang terus menggelegak. Batang kemaluanku yang
tegang berat itu menempel ketat tepat di atas belahan kemaluannya
mengacung ke arah pusarnya. Dengan posisi demikian kantong zakarku
langsung bergesekan dengan rambut kemaluannya. Rasanya geli. Apalagi
Maryati terus menggesekgesekkan bagian itu selama kami berciuman. Ia
tampak kesenangan menikmati permainan ini.
Tapi Maryati paling
senang ketika aku memeluknya dari belakang. Tak hentihentinya ia
menggoyanggoyangkan pantatnya pada batang kemaluanku, dan aku
mengimbanginya dengan meremasi buah dadanya dari belakang sambil terus
menciumi daerah telinga, leher dan bibirnya dari arah samping. Bercumbu
dengan posisi begini memang mengasyikan. Batang kejantananku seperti
meluncurluncur di selasela garis pantatnya. Rasanya lembut dan geli.
Bagai dieluselus dengan kain beludru.
Mass.. desahnya sambil membalikkan badannya dan kemudian melingkarkan tangannya ke leherku.
Apa..? kucengkeram kedua pinggulnya yang padat bulat itu.
Siapa saja yang sudah pernah tidur di sini? tanyanya mulai menggodaku.
Aku agak heran dengan pertanyaannya yang rada menyelidik itu.
Nggak ada, jawabku pendek.
Masak sih, nggak ada?
Iya.. aku berusaha meyakinkannya.
Lha, istri Mas Is dulu tidur di mana?
Oo itu.. Ya, kalau dulu sih ini memang tempat tidur kami berdua. Tapi
sejak pisah, ya nggak ada orang lain lagi yang pernah tidur di sini
selain aku sendiri..
Beneer..? nadanya mulai meledek.
Sumpah.. balasku manja.
Terus, kalau Mas Is lagi kepingin, mainnya di mana dong?
Kepingin apa? tanyaku purapura bodoh.
Ya, kepingin begituan..
Kalau lagi kepingin.. ya kadangkadang mainnya di sini..
Lho? tadi katanya nggak ada orang lain yang tidur di sini selain istri Mas Is..
Aku tertawa pendek menyadari kebingungan Maryati.
Kalau mau main, memangnya harus ada orang lain? kataku kemudian.
Maksudnya? ia makin kebingungan.
Emangnya nggak bisa main sendiri..?
Idiih.. maksudnya..? Maryati tak meneruskan kalimatnya, tapi matanya
menatapku lucu dan tangannya lalu menggenggam milikku dan
mengocokngocoknya. Seolah ingin memastikan bahwa perbuatan seperti
itulah yang aku maksudkan dengan main sendiri, alias onani.
Aku mengangguk membenarkan maksudnya. Ia tertawa.
Kok ketawa? kataku sambil mendekap tubuhnya dengan gemas.
Nggak kebayang deh.. jawabnya sambil masih cekikikan.
Ya jangan dibayangin dong.
Kalau nggak boleh ngebayangin, boleh dong saya lihat Mas Is melakukan itu.
Hah? kataku kaget.
Kini gantian aku yang tertawa mendengar permintaannya yang tidak biasa itu.
Selama
ini, sejak pisah dengan istriku, pemenuhan kebutuhan seksualku memang
lebih banyak kulakukan dengan cara onani saja, karena aku termasuk
konservatif, nggak bisa main sembarangan, hatihati dan penuh
perhitungan. Melakukan onani bagiku lebih save dan cukup memuaskan.
Hampir semua lakilaki pasti pernah melakukan seks swalayan itu. Dulu
waktu masih remaja aku juga sering melakukannya dan mendapatkan kepuasan
dari situ. Bahkan ketika sudah menikah pun aku kadangkadang juga masih
melakukannya, terutama bila istriku dulu sedang berhalangan. Aku bisa
minta dia membantuku beronani atau aku melakukannya sendiri tanpa dia.
Apalagi setelah kami cerai, acara ngocok bisa kulakukan seminggu sekali,
bahkan lebih kalau nafsuku lagi kencangkencangnya.
Biasanya aku
melakukannya menjelang tidur atau saat bangun tidur. Sudah alamiah,
punya lakilaki kalau saat bangun tidur pagi hari biasanya dalam kondisi
sedang ereksi. Kalau kebetulan saat itu volatageku juga sedang
tinggitingginya, biasanya langsung kusalurkan dengan cara mengocok. Aku
bisa melakukannya di atas tempat tidur atau di kamar mandi waktu mandi
pagi.
Kalau aku melakukannya menjelang tidur, biasanya sambil
melihat majalah atau film porno koleksiku atau hasil pinjaman. Tapi
kalau melakukannya ketika bangun tidur atau di kamar mandi, aku cukup
dengan berkhayal saja. Selama ini aku lebih banyak melakukan onani
dengan tangan kering, karena keluarnya bisa agak lama. Tapi untuk
sensasi, kadangkadang aku pakai baby oil atau sabun kalau pas
melakukannya di kamar mandi. Saya rasa yang terakhir itu (nyabun) biasa
dilakukan oleh lakilaki. Tentunya dilakukan dengan sembunyisembunyi. Dan
kamar mandi memang tempat yang paling populer untuk beronani ria.
Karena tempatnya aman, tertutup dan bisa telanjang dengan bebas,
sehingga tak perlu takut dicurigai atau diketahui orang lain.
Tapi
kini, ada seorang wanita yang ingin menontonku melakukan onani di
hadapannya. Gila! Aku sampai tertawa menanggapi permintaan Maryati yang
nyeleneh itu. Tapi aku menghentikan tawaku begitu menyadari bahwa
Maryati tampaknya serius memintaku melakukan itu.
Oke, kataku akhirnya, Tapi janji, Dik Mar juga harus ikut melakukan itu di depan saya..
Nggak ah! sergahnya cepat.
Kenapa? Memang nggak pernah..?
Ihh.. pakai nanya lagi! katanya sambil mencubitku.
Segera
kutangkap tangannya, kupeluk tubuhnya dan kami lalu kembali tenggelam
dalam ciuman yang mesra dan bergairah. Sejenak kemudian aku melepas
pelukanku dan membimbing tubuhnya berbaring di atas ranjang. Aku sendiri
kemudian berbalik berjalan menuju kursi dekat meja kecil di seberang
tempat tidur, dan duduk santai di atasnya.
Dik.. kataku memberi
isyarat pada Maryati yang tergolek di atas kasur di depanku. Aku
kemudian memancing dia dengan mulai meremasremas milikku sendiri yang
sudah tegang itu. Beberapa saat kemudian Maryati pun mulai mengikuti
perbuatanku. Jarijarinya mulai terarah menuju selangkangannya, mulai
menggelitik dan mengusapusap miliknya sendiri. Maka dimulailah
pertunjukan seks swalayan. Kami berdua saling berpandangan dan saling
mengamati perbuatan satu sama lain. Tubuh Maryati tampak telentang
miring bersandar pada salah satu sikunya. Posisi tubuhnya menghadap ke
arahku. Sehingga aku bisa dengan leluasa melihat semua gerakan
masturbasinya.
Posisi dudukku sendiri sudah tidak tegak lagi, tapi
sudah setengah bersandar. Kedua paha dan kakiku selonjor ke depan dan
sengaja kubuka lebarlebar. Aku memainkan milikku dengan gerakan
bervariasi, mulai dari meremas, mengurut, memijat sampai gerakan
mengocok. Sesekali aku juga merangsang buah pelirku dengan cara
mengusapusap dan meremasremasnya. Seolaholah aku ingin menunjukkan pada
Maryati semua gerakan onani yang biasa kulakukan selama ini.
Kami
berdua mulai saling terangsang oleh perbuatan kami masingmasing. Kalau
selama ini aku beronani sambil nonton BF atau lihat gambar porno sambil
mengkhayal halhal yang merangsang, maka kini aku melakukannya dengan
bantuan obyek dan kejadian yang lebih nyata. Aku sampai kesulitan
menahan keinginanku untuk tidak menyetubuhi Maryati karena sangat
terangsang melihat segala gerakannya selama bermasturbasi itu. Semua
begitu nyata dan merangsang. Aku yakin Maryati pun merasakan hal yang
sama selama melihat secara langsung seorang lakilaki beronani di
hadapannya. Matanya kulihat mulai sayu tapi terus mengamati
gerakangerakan tangan yang kubuat terhadap kemaluanku sendiri.
Aku
hampir mencapai puncak, ketika kudengar mulut Maryati mulai
merintihrintih sambil menatapku dengan wajah seperti orang ingin
menangis. Jari manis dan jari tengahnya tampak bergerak cepat mengusap
dan menekannekan bagian atas bibir kemaluannya khususnya di bagian
klitorisnya. Ia mulai memanggilmanggil namaku dan tubuhnya mulai
mengejang. Punggungnya kemudian melengkung dan kedua pahanya merapat
menjepit tangannya sendiri yang terselip di selangkangannya.
Aku
semakin terangsang melihat pemandangan nyata di depanku. Desirandesiran
mulai kurasakan pada pangkal kemaluanku sendiri. Dan aku semakin
memperkuat kocokan tanganku sendiri sampai menimbulkan sedikit bunyi
yang diakibatkan oleh bercampurnya keringat di telapak tanganku dan
cairan bening yang mulai keluar dan meleleh dari lubang kecil di ujung
kemaluanku.
Tapi akhirnya aku tak tahan lagi begitu mendengar
Maryati berteriak memekik. Dan aku segera loncat dari kursi dan
menghambur ke arahnya. Aku sudah tak tahan lagi dengan semua ini. Segera
kubuka pahanya yang masih merapat itu dan tanpa ba bi Bu kutusukkan
batang kemaluanku ke lubang yang sudah basah oleh cairan birahi itu.
Maryati terpekik ketika seluruh kejantananku dengan cepat dapat
menerobos dan menyelip masuk. Kurasakan di dalam sana milikku
berdenyutdenyut oleh konstraksi dindingnya, menimbulkan rasa geli yang
sangat nikmat. Rupanya orgasme Maryati datang bersamaan dengan hujaman
rudalku.
Sejenak aku diam menikmati pengaruh orgasme di tubuh
Maryati pada batang kemaluanku. Lalu pelanpelan aku mulai menggoyang dan
mengayun pinggulku. Pelan dan pelan. Berputar dan mengulir. Sesekali
menyentak. Kunikmati sekali persetubuhan ini, sampai akhirnya aku mulai
melakukan gerakan memompa dan menusuknusuk.
Maryati tampak mulai
menikmati genjotanku. Ia menggeliatgeliat sambil melenguh dan sesekali
tersenyum dengan mata terpejam. Seolah meresapi segala gerakan nikmat
yang kuciptakan pada tubuhnya.
Aku sendiri, karena akibat onani
tadi, sudah beberapa kali harus menahan desiran yang terus muncul dari
pangkal selangkanganku. Biasanya ini tanda orgasmeku mau datang. Tapi
aku merasa sayang untuk mengeluarkannya sekarang.
Seolah seperti membaca pikiranku, tibatiba Maryati memintaku untuk segera menyemprotkan cairan maniku yang sedari tadi kutahan.
Keluarin Mass.. keluarin sekarang.. di luar saja.. ia merintih sambil
menatapku sayu. Aku mengerti maksudnya. Maka segera kucabut batang
kemaluanku dan dengan posisi mengangkangi perutnya, aku lalu melakukan
onani di atas tubuhnya. Kukocok dan kukocok terus milikku dengan kuat.
Cairan kemaluan Maryati yang menempel di sekujur batang kemaluanku makin
memperlancar gerakan tanganku. Kepala kemaluanku yang bulat mengkilat
tampak tersengalsengal dalam genggaman tanganku. Maryati pun tampak
menikmati sekali atraksi yang sedang kulakukan di atas tubuhnya. Bahkan
ia mulai merabaraba kantung pelirku. Oh tidak, ia tak cuma meraba, tapi
juga meremasremas kantung bulat berkulit tebal itu. Membuat pinggul dan
pantatku bergerakgerak seiring remasan tangannya. Ooohh, nikmat sekali..
Aku
menggeram tertahan, ketika akhirnya semprotan maniku yang pertama
memancar dengan kuat. Langsung mengenai wajah Maryati. Tapi ia dengan
senangnya merasakan sentuhan air kental hangat itu di pipinya. Matanya
tak sedikit pun lepas dari kemaluanku yang sedang meradang memuntahkan
semprotansemprotan berikutnya. Semua memancar dan menyemprot tak hanya
ke wajahnya, tapi juga bibir dan buah dada Maryati. Tangannya kulihat
sibuk mengusap cairan putih kental itu dan meratakannya ke permukaan
payudaranya. Terakhir kulihat Maryati menjilat sisa spermaku yang ada di
ujung jarinya.
Aku betulbetul puas dengan semua ini dan puncak
birahi ini telah membuat seluruh sendi tubuhku serasa dilolosi sehingga
aku terpaksa harus menahan tubuhku agar tak rebah menjatuhi tubuh
Maryati. Maka dengan bertumpu pada kedua telapak tanganku, pelanpelan
aku merundukkan tubuhku sehingga tubuhku merapat agak menindih dan
membuat batang kemaluanku mendarat tepat di selasela kedua bukit buah
dadanya. Rasa kenyal yang diciptakan membuatku bereaksi untuk
menggesergeserkan pisang ambonku di celah kedua bukit itu. Ah.. geli
sekali rasanya. Geli yang nikmat. Nikmat yang sangat. Beberapa kali
tubuhku sampai tersentaksentak oleh rasa geli yang muncul belakangan
itu. Apalagi kedua telapak tangan Maryati kemudian menekan kedua
pantatku ke bawah dan memutarmutarnya. Aku hanya bisa melenguh menikmati
bonus orgasme yang diberikannya.
Enak Mas? kata Maryati ketika akhirnya aku rebah di sebelah kiri tubuhnya.
Hhheehh.. aku hanya bisa mendesah dan membalas kecupan bibirnya.
Mas Is seksi banget kalau lagi ngocok..
Hmm.. asal jangan djadikan tontonan rutin saja.. sahutku masih terengah.
Kenapa? tanyanya.
Masak mau ngocok terus? sahutku.
Katanya sudah biasa.. katanya.
Ya, tapi kan sekarang sudah ada Dik Mar, kataku.
Kalau saya sedang nggak ada, atau lagi berhalangan, gimana? tanyanya.
Tergantung.. sahutku seenaknya.
Tergantung apa? tanyanya lagi.
Tergantung yang menggantung! kataku.
Iiihh.. tangan Maryati mencubit bagian tubuhku yang menggantung itu.
Aku sampai berteriak. Tapi kemudian ia membelaibelai mesra buah pelirku.
Bagaimana kalau yang berhalangan saya? aku lalu gantian bertanya.
Hmm.. ia tampak berpikir.
Ya, kalau dalam keadaan terjepit seperti itu ya harus bisa memanfaatkan kesempatan.. katanya.
Kok, kesempatan? tanyaku heran.
Iya, yang sempitsempit harus diberi kesempatan untuk tetap menjepit
meskipun dalam keadaan terjepit.. jawabnya tenang sambil senyumsenyum.
Aku
tertawa ngakak mendengar balasannya yang cerdas itu. Segera kurengkuh
pinggangnya dan kutindih tubuhnya sebelum ia sempat mengelak.
Kutempelkan punyaku tepat di cekungan pangkal pahanya.
Jadi, kapan lagi mau menjepit yang menggantung? tanyaku bercanda sambil menekan milikku ke miliknya.
Itu sih tergantung dari yang mau terjepit.. sahutnya kocak sambil
sedikit menggoyangkan pinggulnya. Sialan, gerakannya membuatku berdesir.
Tapi
sore ini aku tak ingin terlalu menuruti hawa nafsu yang muncul. Maryati
pun bukan type wanita yang menggebugebu nafsu seksnya. Bagi kami, yang
penting adalah kualitas dalam bermain cinta, bukan kuantitas atau
frekuensinya.